>> catatan perjalanan riset
untuk proses penciptaan karya tari Mega Mendung,
koreografer: Fitri Setyaningsih.
Oleh: Hindra Setya Rini.
Sebermula kenangan tentang mega-mega.
pada suatu masa, ada seorang nenek tua yang berjarik dan berkebaya. ia
bercengkrama dengan seorang gadis kecil berusia sepuluh tahun. ia bercerita
tentang mega-mega di atas langit yang bisa bergerak dan hidup sebagaimana
mahluk lainnya. seperti manusia. si nenek bahkan bercerita, suatu saat nanti
awan-awan itu akan membawa terbang si gadis ke atas langit yang tinggi. bertemu
mega-mega. waktu berselang, kemudian nenek menghilang. namun cerita tentang mega-mega di atas langit sana diam-diam mengendap
dalam ingatan; yang kelak, si gadis akan menamainya sebagai masa depan.
Perjalanan menemukan Mega Mendung
Petilan di atas merupakan cerapan
saya tatkala mendengarkan cerita—bisa juga disebut sepenggal kenangan—masa
kecil Fitri Setyaningsih. Sebagai mula gagasan karya tari Mega Mendung yang sedang ia mulai kerjakan. Merunut ke belakang, kenangan
atas mega-mega dan perjumpaan dengan si Nenek itu cukup menghantuinya kurang
lebih sejak enam atau lima tahun yang lalu. Baru tiga tahun belakangan ini ia mulai
menggambar dan corat-coret mengikuti ingatan-ingatan yang terus keluar-masuk
tersebut, terlebih sejak ia mengenal motif “mega mendung” semasa kuliah di Solo.
Motif mega mendung ia temui pada batik Cirebon dan wayang beber. Ketertarikan
perihal mega mendung sudah dimulai sejak masa itu, dan secara serius ingin diwujudkan
sebagai sebuah karya tari, baru dimulai satu tahun belakangan ini.
Awal bulan Juli 2014, perjalanan “menemukan” mega mendung dimulai sebagai titik keberangkatan proses karya tari Fitri. Dua kota yang terletak di pesisir Jawa; Cirebon dan Lasem menjadi tujuan pencarian tersebut. Selain di mana saja tempat atau jejak mega mendung bisa ditemui, penggalian makna filosofis dari motif mega mendung bergradasi tujuh warna menjadi agenda utama. Paparan dan temuan di bawah ini saya sarikan dari beberapa referensi dan wawancara beberapa narasumber; budayawan, seniman lukis kaca, pembatik di Cirebon, serta salah seorang pegiat komunitas pelestari warisan budaya Lasem yang menjadi informan lokal ketika menyusuri motif mega mendung di Lasem.
Awal bulan Juli 2014, perjalanan “menemukan” mega mendung dimulai sebagai titik keberangkatan proses karya tari Fitri. Dua kota yang terletak di pesisir Jawa; Cirebon dan Lasem menjadi tujuan pencarian tersebut. Selain di mana saja tempat atau jejak mega mendung bisa ditemui, penggalian makna filosofis dari motif mega mendung bergradasi tujuh warna menjadi agenda utama. Paparan dan temuan di bawah ini saya sarikan dari beberapa referensi dan wawancara beberapa narasumber; budayawan, seniman lukis kaca, pembatik di Cirebon, serta salah seorang pegiat komunitas pelestari warisan budaya Lasem yang menjadi informan lokal ketika menyusuri motif mega mendung di Lasem.
Mega Mendung di Cirebon
Cirebon, kota pertama yang kami
singgahi, dulunya adalah sebuah kota dengan pelabuhan yang cukup signifikan
dalam peta sejarah masuknya Islam di pulau Jawa. Caruban merupakan asal kata Cirebon yang artinya “campuran”. Konon
kata “campuran” tersebut merujuk pada percampuran berbagai budaya yang datang
melalui jalur perdagangan (di antaranya dari Gujarat, India, Persia, Arab, Bugis,
Cina, dan terakhir Belanda) yang singgah di Cirebon dan membaur dengan budaya
lokal setempat. Menurut catatan sejarahnya, sekitar abad ke 15, kedatangan
Cina-Muslim ke Cirebon secara besar-besaran pertama kali ditandai dengan
legenda mendaratnya ekspedisi Cheng Ho (armada dari Dinasti Ming) sebanyak 62 kapal dan membawa 28.000 orang (Times
Editions 1990: hal. 20). Dipercayai pula bahwa salah seorang dari mereka,
sejarawan yang bernama Ma Huang, memutuskan untuk tinggal dan menikah dengan
perempuan setempat. Sejak itu penduduk Cina-Muslim mulai berkembang di Cirebon.
Selain itu, pengaruh budaya cina juga tak terlepas dari cerita tentang kedatangan
Putri Ong Tien (salah satu putri Kaisar di Cina yang menikah dengan Sunan
Gunung Jati) ke Cirebon dan membawa mahar hadiah berupa porselen Cina, kain
sutera dan satin, serta ornamen-ornamen hiasan yang terbuat dari batu giok dan
emas. Peninggalan Puteri Ong Tien sampai saat ini dapat ditemui salah satunya
di Makam Sunan Gunung Jati. Dan pengaruh Cina pada Cirebon juga dapat dilihat
di Keraton Cirebon; Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan dan Keprabon. Piring-piring
keramik dari Cina tampak menghiasi dinding-dinding bangunan Keraton. Sedangkan
motif mega mendung dapat ditemui hampir dibanyak tempat, seperti pada pintu gerbang,
dudukan gamelan, dan lain sebagainya. Berikut beberapa gambar:
keraton kanoman |
keraton kasepuhan |
piring keramik dari cina yang menempel pada dinding-dinding keraton |
peralatan gamelan di keraton kacirebonan |
lampu taman keraton kasepuhan |
Dari pertemuan dan wawancara bersama tokoh
masyarakat di Cirebon, diperoleh penjelasan bahwa mega mendung Cina dan mega
mendung Cirebon memiliki perbedaan. Inspirasi motif mega mendung Cina asalnya
dengan melihat ke atas (awan dan langit), sedangkan mega mendung Cirebon
terinspirasi dengan melihat ke bawah yaitu sebuah telaga yang memantulkan
bayangan awan ke permukaan air telaga tersebut. Berikut penjelasan dari
masing-masing narasumber:
1.
Pak
Achmad Opan Safari (pelukis kaca, ahli naskah kuno (filologi), pengajar di
beberapa sekolah (SMP - SMU) dan Universitas IAIN Cirebon):
Mega mendung
memiliki dua versi; kalau yang dari Cina, pembuat atau pencipta mega mendung
itu langsung melihat ke atas (langit), kalau yang dari Cirebon—penciptanya
adalah pangeran Cakrabuana—melihat ke ke bawah (ketika mengambil air wudhu) di
sebuah telaga. Ia melihat mega mendung. Itu sebabnya kenapa dalam motif batik
mega mendung Cirebon ada variasi ikan, kupu-kupu, binatang, daun dan lain sebagainya.
Variasi itu ada karena dilihat dari sebuah telaga. Hal itu juga yang membedakan
antara mega mendung Cina dan Cirebon; mega mendung Cina bentuknya terstruktur, berwarna putih dan biru karena
referensinya pada awan, sedangkan mega mendung Cirebon bentuk lebih bebas, ada
yang lancip-lancip vertikal dan horizontal.
Pada
perkembangannya, mega mendung Cirebon ada yang bernama mega mendung Sumirat, artinya mega mendung di saat
matahari bersinar cerah. Motif ini lebih
cerah (dengan oranye, merah muda, dsb), mega mendungnya sedikit-sedikit dan tidak
penuh. Sedangkan mega mendung—yang artinya mega di saat langit mendung, itu
bentuknya lebih tebal dan rapat. Pada prinsipnya bentuk mega mendung selalu
menyambung dan tidak boleh terputus. Jika ingin berhenti ditandai dengan lungsi (tanda koma). Makna filosofisnya,
“Jika berbuat baik, beribadah, itu tidak boleh berhenti”. Mega mendung yang
arah bentuknya vertikal, atau yang disebut wadasan,
itu melambangkan iman manusia yang sekokoh batu karang. Sedangkan yang horizontal
melambangkan sifat-sifat pemurah sang pencipta sebagai pemberi rejaki pada
seluruh umat manusia. Perihal jumlah gradasi tujuh warna dalam motif mega
mendung, tidak ada kandungan makna filosofis tertentu. Hal tersebut dianggap
jamak saja (untuk mengatakan sesuatu yang lebih dari satu). Pak
Opan sendiri sebagai
seniman pelukis kaca, bahkan membuat mega mendungnya lebih dari tujuh gradasi warna.
Kapan
tepatnya mega mendung hadir di Cirebon, kemungkinan terkuatnya adalah saat
datangnya armada Cheng Ho sekitar tahun 1511 – 1521. Meskipun mega mendung
tidak diceritakan, ia meyakini motif mega mendung di Cirebon bisa saja
terpengaruh dari pakaian yang dikenakan orang-orang Cina yang datang pada masa
itu. Tidak hanya pakaian, pengaruh kuat budaya Cina ini dapat dilihat di
mana-mana; istana keraton, tempat ibadah, juga di makam Sunan Gunung Jati, gerabah
atau tembikar dari Cina bisa ditemukan di sana. Menurutnya, hal itu juga pengaruh dari Putri Ong
Tien yang merupakan salah satu istri Sunan Gunung Jati yang berasal dari Cina.
2. Pak Katura (pelestari batik Trusmi, Cirebon).
Hampir sama
dengan penjelasan di atas, mengenai perbedaan motif mega mendung Cina dan mega
mendung Cirebon yaitu pada cara inspirasi mega mendung bermula (melihat ke
atas, dan yang Cirebon melihat ke bawah atau telaga). Menurut pak Katura,
sebagai pembatik yang tinggal di perkampungan batik Trusmi ini, motif batik
mega mendung Cirebon dahulunya diciptakan oleh seniman kraton. Perbedaan motif
mega mendung Cina dan Cirebon berbeda pada bentuk motifnya juga; mega mendung
Cina memiliki buntut panjang, sedangkan Cirebon lebih bulat, tidak boleh putus,
dan terus menyambung. Makna folosofinya, “Kalau mencari ilmu jangan pernah
putus.”
Pada
perkembangannya kini, motif bentuk dan warna sudah disesuaikan dengan selera
pasar, menurut selera masing-masing si Pembatik dan si Pembeli. Bentuk mega
mendung yang biasanya arah memanjang ke samping (horizontal), sekarang dibuat
ke atas (vertikal). Kalau horizontal mencerminkan pada hubungan kemasyarakatan
(manusia dengan manusia dan alam), sekarang yang ke atas atau vertikal itu
menunjukkan hubungannya dengan yang di atas (hubungan manusia dengan Tuhan).
Warna dasar batik mega mendung Cirebon adalah merah dan biru. Warna merah, menurut
pak Katura, lebih kepada kecenderungan warna-warna pesisiran, bukan Cina.
Gradasi warna mega mendung berjumlah tujuh, dan biasanya minimal berjumlah
tiga. Cara menghitungnya dimulai dari warna putih selanjutnya sampai pada warna
biru. Tidak ada aturan khusus perihal warna-warna lapisan mega mendung
tersebut. Perihal tujuh gradasi itu berkaitan dengan lapisan-lapisan langit
yang berjumlah tujuh, menurut ajaran Islam. Tidak ada penjelasan lebih jauh
mengenai hal tersebut. Berikut ini gambar motif mega mendung horizontal dan
vertikal:
3.
Pangeran
Hilman (pengelola Arsip Budaya Kab. Cirebon, sesekali menjadi dosen tamu di
Universitas IAIN Cirebon)
Dalam
pertemuan dan percakapan bersama pak Hilman, kurang lebih informasi yang
didapat sama dengan narasumber lainnya, namun dengan penekanan bahwa peran keraton
sangat besar dalam mengembangkan motif mega mendung Cirebon. Ajaran-ajaran
islam juga sangat lekat pada lukisan-lukisan kaca yang ada di Cirebon, yang
hampir dipastikan ada motif mega mendung, wadasan, dan dimodifikasi dengan
ayat-ayat maupun rapalan huruf arab. Salah satu contoh gambar:
Penjelasan makna motif wadasan dan disertai variasi lain
seperti tanaman kaktus, laut, gelombang, dan pada akhirnya memusat pada mega
mendung yang mengarah ke atas (di dalamnya tertulis ayat atau rapalan),
menggambarkan sebuah siklus kehidupan. Sebagaimana sebuah perjalanan manusia dari
lahir sampai kembali kepada yang menciptakan. Dalam kehidupan wadasan yang tak beraturan; naik-turun,
terjal, diartikan juga sebagai hambatan dalam kehidupan. Di sisi lain, wadasan juga melambangkan batu karang
yang kokoh, yang hendaknya manusia juga harus sekokoh batu karang dalam
menghadapi ujian kehidupan. Kaktus memiliki pemaknaan bisa hidup di dataran
tandus dan kering, artinya manusia hendaknya juga seperti kaktus yang mampu bertahan
dan tetap tumbuh dalam keadaan yang paling sulit. Sampai pada akhirnya, manusia
kembali dan mendekat ke jalan menuju sang Pencipta. Huruf arab dalam mega
mendung yang mengarah ke atas tersebut berisi perihal sifat-sifat Tuhan. Perihal
keseimbangan dalam kehidupan juga ditekankan oleh pak Hilman, bagaimana manusia
dan alam tidak bisa diputus. Namun seringnya manusia dengan watak yang beraneka
ragam itu seringnya lupa; seolah-olah merasa bisa hidup sendiri tanpa orang
lain atau alam tempat ia tinggal.
pintu gerbang masuk keraton kacirebonan, tiga ikan tanpa kepala bertemu membentuk sigitiga sebagai simbol keseimbangan |
batu karang (keraton kasepuhan) atau disebut wadasan dalam motif mega mendung batik cirebon |
Mega Mendung di Lasem
Menilik sejarah mengenai Lasem yang
dijuluki sebagai Tiongkok kecil, memiliki kesamaan cerita dengan Cirebon
perihal kedatangan armada Cheng Ho yang mendarat di pesisir Jawa sekitar abad
ke 15 M. Di Lasem, menurut catatan Sejarah
Batik Lasem, armada Cheng Ho mendarat pada tahun 1413 M. Salah seorang
nahkoda yang bernama Bi Nang Un (sekarang menjadi nama salah satu pantai di
Lasem, Binangun) tertarik untuk menetap
di Lasem. Atas seijin Cheng Ho, ia kembali ke Champa (sekarang bernama Vietnam)
untuk membawa serta keluarganya tinggal di Lasem. Menurut Serat Badra Santi
(Babad Tanah Lasem) yang
ditulis oleh salah satu cucu Bi Nang Un, pembatikan di Lasem dirintis oleh
Puteri Na Li Ni yang berasal dari Champa (isteri dari Bi Nang Un). Meskipun hal
tersebut butuh kajian lebih jauh (IPI 2010: hal. 22-23).
Dalam pencarian motif mega mendung di
Lasem, saat ini, bisa dikatakan sangat sedikit jika dibandingkan dengan
Cirebon. Selain karena sedikitnya tulisan-tulisan yang bisa dijadikan rujukan
sejarah batik Lasem yang akurat, disinyalir bahwa motif mega mendung juga kurang
dikenal oleh sebagian pembatik Lasem sekarang ini (menurut Baskoro, aktivis dan
pendiri gerakan pelestarian warisan budaya (pusaka) di Rembang dan Lasem). Menurut
seorang pembatik yang dituakan di Lasem, Sigit Wicaksono atau Nyoo Tjoen Hian
(keturunan ke delapan dari keluarga Njoo, pengusaha batik sejak sekitar tahun
1850), mega mendung sendiri dalam filosofi Cina merupakan
keberkahan karena menurunkan hujan. Sedangkan motif mega mendung yang ada dalam karya batiknya itu hanya sebagai
ornamen atau hiasan saja.
Melihat dari
karya batik Pak Sigit, motif
mega mendung bentuknya kecil-kecil dan bulat (lebih kecil dibandingkan Cirebon). Bentuk dengan satu garis saja, tidak memiliki gradasi lapisan warna.
Menurut Baskoro, fenomena yang menarik untuk ditelusuri karena motif mega mendung sebenarnya baru muncul
belakangan ini (di Lasem), termasuk batik karya pak Sigit sendiri—sebagai
pembatik yang paling
kuat unsur Cina-nya. Pada perkembangan batiknya kini, ia memasukkan
peribahasa-peribahasa Cina dengan huruf Cina, salah satunya adalah “Umurnya setinggi langit, rejekinya
seluas samudra”. Berikut contoh-contoh batik Lasem yang bermotif mega mendung:
Kelangkaan motif mega mendung di
Lasem, menurut perkiraan dikarenakan ada semacam anggapan bahwa motif mega
mendung merupakan ciri khas yang sudah dimiliki oleh Cirebon. Sehingga pembatik
lokal Lasem memilih untuk mengembangkan yang merupakan ciri khas Lasem seperti
motif Sekar Jagad (berdasar pengakuan
salah seorang pembatik Lasem). Dari pembacaan tentang sejarah batik Lasem,
sekitar tahun 1951-1970 terjadi fenomena perubahan cara berpakaian perempuan
Cina di Lasem (yang merupakan target konsumen batik Lasem saat itu). Kebiasaaan
memakai kebaya encim dan kain batik menjadi berpakaian bergaya barat yang
dianggap lebih nyaman; dengan rok atau gaun. Kemudian terjadi pergeseran target
produk batik ke pemakai batik non etnis Cina, seturut dengan mengubah motif
budaya Cina ke motif-motif yang disesuaikan dengan ajaran Islam dan budaya
lokal setempat. Misalnya, motif Cina seperti naga (liong), burung hong, kilin,
diganti dengan motif lombokan, watu kricak, latohan. Motif lokal non hewan
tersebut menggantikan motif hewan yang berasal dari budaya Cina (IPI 2010: hal
39).
Yang menarik dari perjalanan
menemukan mega mendung di Lasem ini adalah jika motif mega mendung sedikit
ditemui pada batik Lasem, lain halnya dengan arsitektur bangunan-bangunan tua
di Lasem. Budaya Cina sangat kental terlihat sejak desain pintu masuk atau
gerbang di setiap bangunan rumah tua, lorong-lorong panjang dengan tembok
tinggi yang membentengi rumah-rumah tua Cina di Lasem. Bila diamati secara
dekat, detil bagian atap bangunan memiliki tingkatan lapisan seperti gradasi
mega mendung Cirebon. Ada yang berjumlah tujuh dan ada yang kurang dari jumlah
tersebut. Gradasi pada bumbung atap bangunan rumah tua di Lasem
(foto di bawah kiri), bangunan sudah direnovasi (kanan)
Berikut motif-motif mega mendung yang paling banyak
dan mudah ditemui adalah di rumah ibadah (klenteng) di Lasem:
Setelah perjalanan Cirebon-Lasem
(percakapan gagasan dan temuan-temuan yang semakin tajam untuk penciptaan karya
tari Mega Mendung, bersama Fitri Setyaningsih)
Dari percakapan-percakapan dan
imaji-imaji yang melintas di sesela perjalanan dari Cirebon menuju Lasem, pun
setelahnya, beberapa menguat menjadi bentuk-imaji yang akan diwujudkan di atas
panggung. Berupa bayangan-bayangan visual yang terus akan dilihat
perkembangannya dalam proses penciptaannya nanti. Demikianlah Fitri yang
menempatkan saya sebagai pencatat temuan di jalan sekaligus teman berbincang
saat pikiran dan imaji di kepalanya berlintasan, ia membagikan hal-halnya yang
masih acak untuk bisa
saya baca dan tuliskan.
Berikut ini merupakan poin-poin bayangan
yang menjadi tolakan dalam proses penciptaan, yang masih akan dilihat dan dikembangkan
melalui diskusi-diskusi, workshop, rehearsal
/ latihan bersama tim kreatif (penari, pemusik, dan pewujud artistik):
- Perihal kenangan. Seorang nenek yang bercerita tentang mega-mega itu berpakaian kebaya dan jarik (kain). Visual yang tergambar: perempuan tua memakai jarik dan kebaya, duduk di atas kuda kayu (kuda-kudaan yang biasa dimainkan oleh anak kecil). Kemungkinan memang kenangan inilah asal semua bermula, seluruh peristiwa yang terjadi di atas panggung. Ia bisa mula-mula hadir, atau menutup akhir. Kita belum tahu.
- Eksplorasi tubuh pada setiap titik dari telapak kaki hingga ujung kepala—ubun-ubun. Level tubuh paling bawah: kaki yang menginjak bumi, perlahan naik ruas per ruas sampai pada level tubuh yang paling atas: ubun-ubun. Ini berhubungan dengan gradasi yang menjadi ketertarikan Fitri pada mega mendung. Tingkatan gradasi bisa pula dimaknai sebagai level yang terus semakin naik ke atas. Dari bawah menuju ke atas itu hubungannya dengan sang Pencipta (Tuhan), seperti filosofi bentuk mega mendung yang arahnya ke atas (vertikal). Pada titik ini, kemungkinan bahwa tubuh masing-masing penari melakukan perjalanan dari keadaaan yang paling netral (tubuh keseharian mereka, sebagaimana saya melihat Fitri sangat kuat pada konsep ini dalam karya-karyanya) sampai mencapai titik yang paling tinggi atau situasi transenden—sesuatu yang sangat dekat dengan keilahian. Karena percaya bahwa setiap tubuh punya pengalamannya baik yang materiil maupun spritual, levelitas tubuh ini sangat mungkin bisa dieksplorasi untuk menghadirkan pengalaman-pengalaman tersebut pada tubuh penari secara alami (natural).
- Keseimbangan. Mengambil makna filosofi tentang keseimbangan dalam kehidupan; manusia-alam-pencipta; hubungan manusia dengan sesama, manusia dengan alamnya, serta manusia dengan penciptanya, menegaskan bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan mahluk lain. Ini makna filosofi mega mendung horizontal maupun vertikal (wadasan). Dalam pergerakannya, tubuh penari bisa menyatu dekat dengan sesama penari yang lain, lalu berpendar menempuh perjalanan tubuhnya sendiri-sendiri, dan kembali lagi menyatu membentuk pola semula. Pada prinsipnya, pola gerak atau bentuk ini mengambil prinsip bentuk mega mendung yang terus menyambung, tidak boleh terputus dan jika berhenti ditandai dengan koma.
- Kedatangan orang-orang dan keluarga. Orang-orang berdatangan (masuk menuju panggung) dengan membawa wajan kecil di kedua tangannya. Wajan-wajan kecil yang di dalamnya berisi sejarah dari masa lalu; kapal, beras, dan rempah-rempah. Datang bersama keluarga, mereka membangun rumah dan hidup beranak pinak. Bedug-bedug dibunyikan. Air dalam gentong atau kendi (untuk wudhu) mengalir. Pergerakan aktivitas yang ramai di atas panggung. Kemungkinan menghadirkan bedug di atas panggung, entah ia akan digantung dengan rantai yang bisa ditarik-turunkan atau ia akan statis. Imaji ini bertaut dengan sejarah kedatangan orang-orang asing di pesisir jawa (Cheng Ho di Cirebon dan Lasem) melalui jalur perdagangan dan sebagian menetap, membangun keluarga, dan membaur dengan penduduk lokal setempat.
- Lorong-lorong jalan yang panjang. Ruang-ruang yang muncul dari melihat lorong jalan di sepanjang bangunan tua Lasem, yang menarik untuk dijelajahi. Untuk alat musik atau artistik, bedug mengambil perhatian kuat untuk dihadirkan. Terbang, sebagaimana ide yang pernah dibayangkan Fitri sejak awal, juga sangat menarik untuk dieksplorasi lebih jauh.
Imaji-imaji bayangan di atas juga sebagian terinspirasi dari temuan-temuan seperti di bawah ini (Dok. Foto perjalanan riset ke Lasem dan Cirebon):
Referensi
Rujukan bacaan:
Gocher, Jill. (1990) Historical Chronology. In The Times Travel Library: Cirebon, Tan,
K. E. (Ed). Singapore: Times Editions Pte Ltd.
Kwan, Rosina, dan Hadi, (2010). “Eksplorasi Sejarah
Batik Lasem”. Katalog dalam terbitan. Jakarta: Institut Pluralisme Indonesia
(IPI).
Narasumber dalam wawancara dan
percakapan informal:
- Achmad Opan Safari (pelukis kaca, ahli naskah kuno (filologi), pengajar di beberapa sekolah (SMP - SMU) dan Universitas IAIN Cirebon), tinggal di Cirebon. Tanggal 6 Juli 2014, pukul 10.00 WIB.
- Baskoro (aktivis pelestari budaya dan pusaka Rembang dan Lasem, pendiri Rembang Heritage Society), tinggal di Rembang. Tanggal 16 Juli 2014, pukul 12.30 WIB. Dalam percakapan personal di kantornya di Lasem.
- Fitri Setyaningsih (koreografer dan penggagas ide karya tari Mega Mendung, tinggal di Yogyakarta. Juli – Agustus, 2014. Dalam percakapan-percakapan personal di rumahnya dan selama perjalanan Cirebon – Lasem.
- Pangeran Muhammad Hilman (pengelola Arsip Budaya Kab. Cirebon, sesekali menjadi dosen tamu di Universitas IAIN Cirebon), tinggal di Cirebon. Tanggal 4 Juli 2014, pukul 16.30 WIB.
- Katura (pelestari batik Trusmi, Cirebon), tinggal Cirebon. Tanggal 5 Juli 2014, pukul 09.30 WIB.
- Sigit Wicaksono (pelestari batik Lasem), tinggal di Lasem. Tanggal 16 Juli 2014, pukul 16.00 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar